Dr. Berto Bolong, OCD.
Struktur Kekuasaan Adat Riung
Kekuasaan memiliki
beberapa pengertian: kekuatan, legitimasi, otoritas atau kemampuan untuk
memaksa. Kekuasaan dapat diperoleh melalui tradisi yang diwariskan, kemampuan
dan moralitas, karisma dan lain-lain. Kekuasaan yang diperoleh seseorang dalam
satu kelompok sosial masyarakat memberi jaminan kepada orang yang bersangkutan
untuk memerintah atau mempengaruhi orang lain.
Strata sosial terjadi
sebagai hasil kebiasaan hubungan manusia secara teratur dan tersusun, sehingga
setiap orang pada setiap saat mempunyai kesempatan untuk menentukan hubungan
dengan orang lain secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakat. Menurut
F.Znaniecki, situasi sosial dapat ditinjau dari dua hal; pertama, adalah
subyektif; penilaian pribadi sesuai dengan interpretasi dan konsep pribadi.
Kedua, adalah obyektif; penilain oleh masyarakat yang ditentukan oleh faktor
kebudayaannya. Stratifikasi sosial menjelaskan kepada seseorang tempatnya dalam
masyarakat sesuai dengan pekerjaan dan menjelaskan kepadanya cara menjalankan
perannya dalam masyarakat.
Dalam kaitan dengan
kelas atau starata sosial dalam masyarakat, filosofi kehidupan orang Riung
tidak mengenal bentuk kelas sosial atau strata sosial yang memposisikan atau
menempatkan seorang atau sekelompok orang pada posisi sosial tertinggi atau
kelas sosial atas, dan menempatkan orang atau kelompok lain pada kelas atau
kelompok sosial bawah dalam kehidupan masyarakat suku. Orang Riung tidak
mengenal hamba dan tuan dalam kehidupan masyarakat suku. Filosofi orang
Riung menegaskan bahwa semua manusia adalah sama dan sederajat. Paham kesamaan
derajat bagi semua manusia ini terukir dalam kata bijak orang Riung; eta ta
busa wa ta ghuri lameng mori kraeng, artinya bahwa semua manusia adalah
sama dan sederajat, semua manusia hanya berhamba kepada Allah.
Dalam perkembangan
sejarah, atas pengaruh kerjaan Goa, orang Riung pun mengenal istilah hamba dan
tuan yang dalam bahasa Riung disebut Lame dan Bura. Istilah
hamba pada masa kerajaan Goa dikenakan kepada kelompok masyarakat kalah perang,
keluarga miskin, bisa juga dikenakan sebagai identitas orang-orang
terjajah, untuk menggabarkan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang berada
pada kelas sosial masyarakat yang lebih rendah dari pada kelompok masyarakat
yang menang perang, penjajah, kaya, penguasa dan orang-orang yang terpandang
dalam kehidupan masyarakat. Paham hamba dan tuan yang demikian ini adalah sesuatu
yang datang dari luar. Sedangkan dalam filosofi asli orang Riung menganut paham
bahwa semu manusia memiliki posisi sama dan sederajat. Orang-orang miskin,
lemah dan terjajah mesti ditempatkan pada posisi sebagai manusia
merdeka.
Meskipun semua manusia
adalah sama dan sederajat, namun dalam masyarakat adat orang Riung menganut
sistim pemerintahan adat yang memposisikan orang yang memimpin dan ada orang
yang dipmpin. Pembagian kekuasaan dalam sistim pemerintahan adat ini bukan
untuk menempatkan seseorang atau sekelompok orang pada posisi tertinggi dalam
masyarakat suku, melainkan sebagai bentuk pembagian tugas dan wewenang di
mana di dalamnya masing-masing warga suku memiliki tanggungjawab untuk menjaga
dan memelihara keutuhan, kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat
suku.
Filosofi orang Riung
menyatakan bahwa raza lone ngene’ artinya setiap orang Riung
adalah raja pada dirinya sendiri. Paham ini dipengaruhi oleh sejarah suku-suku
di Riung, tidak ada kelompok suku yang menang atau kalah perang
yang ditempatkan pada posisi tuan atau raja dan hamba atau budak. Selain itu
jika dilihat dari jejak sejarah, selama tiga ratus lima puluh tahun Belanda
menjajah Indonesia, Belanda tidak perna datang dan tinggal di Riung untuk
menjajah orang Riung.
Setelah terbentuk
pemerintahan kerajaan oleh pemerintahan Belanda, Riung menjadi satu kerajaan.
Namun berbeda dengan raja-raja di kerajaan lain, raja Riung tidak
memiliki istanah mewah, tidak menguasa tanah yang luas, tidak memiliki
banyak istri. Raja buka penguasa atas tanah, raja bertugas
mengatur menjalankan sistim pemerintahan kerajaan yang dibentuk Belanda. Orang
Riung melihat bahwa raja adalah hasil bentukan penjajah Belanda, bukan
kekuasaan sebagai bagian dari budaya yang diwariskan leluhur. Orang yang
terpilih menjadi raja adalah orang yang loyal kepada Belanda. Belanda
tidak akan memilih seseorang menjadi raja kalau tidak memiliki sikap loyal,
tunduk dan taat pada kekuasaannya. Orang Riung lebih mengenal
dan menghormati ulu golo (kepala kampung) yang dipilih langsung dan
diakui oleh woe golo (masyarakat suku) dan merupaka warisan
budaya leluhur turun temurun.
Masyarakat Riung sebagai
sebuah etnis yang memiliki nilai-nilai budaya dan menjadi pedoman serta arah
kehidupan masyarakat suku, memiliki struktur kekuasaan adatnya sendiri.
Struktur kekuasaan adat dan strata sosial itu menentukan tugas dan peran
seseorang dalam kehidupan msyarakat suku yang disusun dalam satu hirarkis
kekuasaan sebagai berikut:
Ulu Golo : pemimpin, kepala suku,
kepala kampung. Ulu golo adalah pemimpin tertinggi woe golo
(anggota masyarakat suku). Ulu golo dipilih woe golo dari angota
masyarakat mawa (suku) yang bergabung dalam satu woe golo. Dengan
demikian yang menjadi ulu Golo bukan karena mengikuti garis keturunan.
Orang yang menjadi ulu golo adalah yang tai’ng tala’ yaitu
orang pilihan atau orang yang mempunyai kecakapan dan kebijaksanaan lebih dari
orang lain dalam satu woe golo. Orang tai’ng tala’ adalah orang
yang memiliki kehidupan moral yang baik, cerdas dan bijak sana (sadi bisa),
merangkul dan mendengarkan orang lain, disegani, kaya secara materi (surung
dadi). Meskipun kekayan materi merupakan salah satu kriteria untuk menjadi ulu
golo, namun yang paling utama adalah keluruhan budi.
Gaen wongko : pemuka atau tokoh
masyarakat di dalam satu woe golo atau masyarakat suku yang mempunyai
pengaruh dalam mawa (suku). Ulu golo dipilih dari para gaen
wongko. Setiap kali ulu golo atau orang yang memiliki
kekuasaan dalam struktur pemerintahan adat dalam kampung (golo/ wongko)
megambil suatu keputusan yang berkaitan dengan kepentingan suku, selalu melalui
musawarah bersama dengan para gaen wongko dan woe golo. Gaen
wongko memberi nasihat atau saran serta turut menentukan program bersama
dalam kelangsungan hidup suku. Gaen wongko merupakan badan penasihat
dalam suku. Dalam menyelesaikan berbagai konflik baik yang terjadi antara
individu maupun antara kelompok dalam satu suku atau antra suku satu dengan
suku yang lain, gaen wongko bertindak sebagai hakim adat untuk
memutuskan berbagai perkara atau konflik yang terjadi dalam masyarakat adat.
Gelarang, wakil atau
mandataris Ulu Golo. Jika Ulu Golo berhalangan baik tetap
maupun sementara, tugas dan tanggujawab diambilalih oleh Gelarang.
Dia dipilih dari orang-orang yang cakap dan bijaksana. Dia bekerjasama dengan Ulu
golo, Gaen Wongko dalam menentukan semua kebijakan untuk membangun
kehidupan suku.
Pabisara, juru bicara.
Bertanggungjawab untuk menyampaikan kepada mayarakat suku atau pihak luar
tentang hal yang berkaitan dengan kepentingan suku yang harus diketahui oleh
semua masyarakat mawa (suku). Mereka diberi wewenang untuk menangani
atau membela kepentingan woe golo bila berhadapan dengan pihak luar.
Orang yang dipilih menjadi pabisara adalah orang-orang cakap bicara (sadi
bisa’), berani, berwibawa dan dapat dipercaya.
Morin door; sering disebut Door.
Jabatan semacam mentri agraria atau mentri pertanian dalam satu struktur
pemerintahan adat dalam satu woe wongko/woe golo. Morin door
sering disebut juga tuang tana’ (tuan tanah). Tuang tana’ di sini
bukan berarti penguasa tanah suku. Penguasa tanah suku adalah semua masyarakat
ulayat atau masyarakat suku. Sistim penguasaan tanah suku bersifdat
komunal. Kekuasaan yang ada pada Morin Door adalah untuk mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan pengolaan tanah pertanian, yaitu waktu
dimulainya pengolaan lahan, waktu penanaman, waktu panen, termasuk perayaan
syukur atas panen. Door mempunyai kuasa untuk mengatur adat istiadat
yang berkaitan dengan siklus kehidupan suku. Dalam siklus kehidupan suku, tugas
utama Door adalah sake wonosekon (menentukan kapan pesta adat
diadakan) dan reti tana mengatur pembagian tanah garapan setiap musim tanam).
Jabatan door diberikan kepada seseorang yang mengetahui masalah
pertanahan suku dan memahami dengan baik tentang adat serta budaya dalam suku.
Jabatan Door selalu diambil dari gaen wongko. Seorang yang
menjabat sebagai door otomatis adalah gaen wonggko sedangkan gaen
wongko tidak identik dengan door atau tidak otomatis sebagai door.
Berambang : Badan keamanan
suku (berambang : dada). Nama lain adalah Kao-zaran (Kao :
anjing- zaran : kuda). Tugasnya membela
kepentingan suku terhadap ancaman pihak luar yang dalam sistim
pemerintahan demokrasi moderen sekarang ini menjadi tugas tentara dan polisi. Berambang
tidak hanya diambil dari golongan muda tetapi juga dari golongan tua.
Mereka tidak diberi latihan khusus secara fisik untuk menghadapi ancaman musuh
dari luar. Yang dituntut dari mereka adalah keberanian dan rela
berkorban. Pada saat-saat tertentu jika wilayah kekuasaan suku dirongrong atau
diserang dan diancam pihak luar, maka semua warga suku wajib menjadi berambang,
karena pada dasarnya keamanan dan keselamatan suku adalah tanggung jawab semua
masyarakat suku atau masyarakat ulayat.
Tango
Ronan : Nujum suku atau pelihat musim. Nama lainnya
adalah wunga fangor ( wunga
: bunga- Fangor : nama sejenis kayu). Tango ronan bertugas untuk
melihat, menganalisis, menginterpretasi situasi dan kondisi kehidupam
masyarakat suku baik yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi dengan segala
peluang dan tantangannya. Dia mempunyai kemampuan untuk melihat posisi
matahari, bulan dan bintang. Hasil penglihatannya disampaikan kepeda Ulu
Golo dan Door sebagai dasar untuk membuat keputusan dan
kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat mawa atau suku.
Sandi wene-rebo : Nama umum untuk dukun
dalam suku, yang bertugas menangani masalah kesehatan masyarakat suku. Segala
urusan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat suku ditangani oleh sandi
wene rebo. Dia dipercaya karena memiliki kemampuan atau keahlian alamiah
untuk bisa mendeteksi sebab-sebab penyakit yang dialami masyarakat suku dan
mampu menyembuhkannya. Sandi wene-rebo disebut juga mbeko sando,
karena selain trampil dan menguasai ramuan atau obat alamih dan tradisional
yang mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, orang mbeko sando
memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang dengan doa dan kekuatan
supernatural lainnya.
Punggawa, adalah mandor yang
bertugas untuk mengadakan pembagian kerja sekalikus mengawasi
kelancaran pekerjaan dalam suatu kegitan bersama masyarakat mawa atau
suku. Dia mengamankan semua kebijakan yang dibuat bersama masyarakat suku agar
dapat berjalan dengan baik dan membawa manfaat bagi masyarakat suku. Orang yang
menjadi punggawa harus memiliki keberanian, kemampuan organisasi, tegas
dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Punggawa tidak dipilih melalui suatu
musawarah adat. Dia ditentukan langsung oleh ulu golo sebelum
program kerja yang hendak dijalankan bersama oleh semua masyarakat suku
dijalankan.
Ngawas ata, semacam spion atau
intelijen atau agen mata-mata dalam suku. Biasanya bertugas sebagai badan
keamanan yang menjaga ketahanan suku. Mereka bertugas memperhatikan atau
mengawasi secara rahasia, pihak luar atau pihak dalam suku yang merongrong dan
membahayakan kesatuan serta kedamaian masyarakat suku. Ngawas ata
dipilih dalam musawarah adat yang dihadiri oleh semua unsur strktur
kekuasaan adat dalam suku. Orang yang dipilih untuk menjadi ngawas ata adalah
orang-orang yang pandai menjaga rahasia, cerdas dan cerdik dalam membaca
berbagai prisriwa yang terjadi baik di dalam maupun di luar suku.
Woe golo; disebut juga
woe wongko, roeng, anak kampong: Artinya rakyat jelata, warga suku
pada umumnya. Semua pendatang yang bukan warga suku termasuk dalam kelompok
ini. Tugas mereka adalah sebagaimana rakyat kebanyakan. Semua warga suku
memiliki kedudukan, hak dan kewajipan yang sama. Tidak ada yang menempatkan
diri pada kelas sosial yang lebih tingga atau yang lebih rendah. Orang
Riung menganut filosofi semua manusi adalah sama dan sederajat. *Admin*.