Selasa, 15 Oktober 2013

STRUKTUR KEKUASAAN ADAT RIUNG

Beberapa pokok pikiran
Dr. Berto Bolong, OCD.



Struktur Kekuasaan Adat  Riung
Kekuasaan memiliki beberapa pengertian:  kekuatan, legitimasi, otoritas atau kemampuan untuk memaksa. Kekuasaan dapat diperoleh melalui tradisi yang diwariskan, kemampuan dan moralitas, karisma dan lain-lain. Kekuasaan yang diperoleh seseorang dalam satu kelompok sosial masyarakat memberi jaminan kepada orang yang bersangkutan untuk memerintah atau mempengaruhi orang lain.  
Strata sosial terjadi sebagai hasil kebiasaan hubungan manusia secara teratur dan tersusun, sehingga setiap orang pada setiap saat mempunyai kesempatan untuk menentukan hubungan dengan orang lain secara vertikal maupun horizontal dalam masyarakat. Menurut F.Znaniecki, situasi sosial dapat ditinjau dari dua hal; pertama, adalah subyektif; penilaian pribadi sesuai dengan interpretasi dan konsep pribadi. Kedua, adalah obyektif; penilain oleh masyarakat yang ditentukan oleh faktor kebudayaannya. Stratifikasi sosial menjelaskan kepada seseorang tempatnya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaan dan menjelaskan kepadanya cara menjalankan perannya dalam masyarakat.
Dalam kaitan dengan kelas atau starata sosial dalam masyarakat, filosofi kehidupan orang Riung tidak mengenal bentuk kelas sosial atau strata sosial yang memposisikan atau menempatkan seorang atau sekelompok orang pada posisi sosial tertinggi atau kelas sosial atas, dan menempatkan orang atau kelompok lain pada kelas atau kelompok sosial bawah dalam kehidupan masyarakat suku. Orang Riung tidak mengenal hamba dan tuan  dalam kehidupan masyarakat suku. Filosofi orang Riung menegaskan bahwa semua manusia adalah sama dan sederajat. Paham kesamaan derajat bagi semua manusia ini terukir dalam kata bijak orang Riung; eta ta busa wa ta ghuri lameng mori kraeng, artinya bahwa semua manusia adalah sama dan sederajat, semua manusia hanya berhamba kepada Allah.
Dalam perkembangan sejarah, atas pengaruh kerjaan Goa, orang Riung pun mengenal istilah hamba dan tuan yang  dalam bahasa Riung disebut Lame dan Bura. Istilah hamba pada masa kerajaan Goa dikenakan kepada kelompok masyarakat kalah perang, keluarga miskin,  bisa juga dikenakan sebagai identitas orang-orang terjajah, untuk menggabarkan bahwa mereka adalah manusia-manusia yang berada pada kelas sosial masyarakat yang lebih rendah dari pada kelompok masyarakat yang menang perang, penjajah, kaya, penguasa dan orang-orang yang terpandang dalam kehidupan masyarakat. Paham hamba dan tuan yang demikian ini adalah sesuatu yang datang dari luar. Sedangkan dalam filosofi asli orang Riung menganut paham bahwa semu manusia memiliki posisi sama dan sederajat. Orang-orang miskin, lemah  dan terjajah mesti ditempatkan pada posisi sebagai  manusia merdeka.
Meskipun semua manusia adalah sama dan sederajat, namun dalam masyarakat adat orang Riung menganut sistim pemerintahan adat yang memposisikan orang yang memimpin dan ada orang yang dipmpin. Pembagian kekuasaan dalam sistim pemerintahan adat ini bukan untuk menempatkan seseorang atau sekelompok orang pada posisi tertinggi dalam masyarakat suku, melainkan sebagai bentuk pembagian tugas dan wewenang  di mana di dalamnya masing-masing warga suku memiliki tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara keutuhan, kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat suku.
Filosofi orang Riung menyatakan bahwa  raza lone ngene’ artinya setiap orang Riung adalah raja pada dirinya sendiri. Paham ini dipengaruhi oleh sejarah suku-suku di Riung, tidak ada kelompok suku yang menang atau   kalah perang yang ditempatkan pada posisi tuan atau raja dan hamba atau budak. Selain itu jika dilihat dari jejak sejarah, selama tiga ratus lima puluh tahun Belanda menjajah Indonesia, Belanda tidak perna datang dan tinggal di Riung untuk menjajah orang Riung.  
Setelah terbentuk pemerintahan kerajaan oleh pemerintahan Belanda, Riung menjadi satu kerajaan. Namun berbeda dengan raja-raja di kerajaan lain, raja Riung  tidak memiliki istanah mewah, tidak menguasa tanah yang luas, tidak memiliki   banyak istri.  Raja buka penguasa atas tanah, raja bertugas mengatur menjalankan sistim pemerintahan kerajaan yang dibentuk Belanda. Orang Riung melihat bahwa raja adalah hasil bentukan penjajah Belanda, bukan kekuasaan sebagai bagian dari budaya yang diwariskan  leluhur. Orang yang terpilih menjadi raja adalah orang yang loyal kepada Belanda.  Belanda tidak akan memilih seseorang menjadi raja kalau tidak memiliki sikap loyal, tunduk dan taat pada kekuasaannya.    Orang Riung lebih mengenal dan menghormati ulu golo (kepala kampung) yang dipilih langsung dan diakui oleh woe golo (masyarakat suku)  dan merupaka warisan  budaya leluhur turun temurun.  
Masyarakat Riung sebagai sebuah etnis yang memiliki nilai-nilai budaya dan menjadi pedoman serta arah kehidupan masyarakat suku, memiliki struktur kekuasaan adatnya sendiri.  Struktur kekuasaan adat dan strata sosial itu menentukan tugas dan peran seseorang dalam kehidupan msyarakat suku yang disusun dalam satu  hirarkis kekuasaan sebagai berikut:   
Ulu Golo : pemimpin, kepala suku, kepala kampung. Ulu golo adalah pemimpin tertinggi woe golo (anggota masyarakat suku). Ulu golo dipilih woe golo dari angota masyarakat mawa (suku) yang bergabung dalam satu woe golo. Dengan demikian yang menjadi ulu Golo bukan karena mengikuti garis keturunan. Orang yang menjadi ulu golo  adalah yang tai’ng tala’ yaitu orang pilihan atau orang yang mempunyai kecakapan dan kebijaksanaan lebih dari orang lain dalam satu woe golo. Orang tai’ng tala’ adalah orang yang memiliki kehidupan moral yang baik, cerdas dan bijak sana (sadi bisa), merangkul dan mendengarkan orang lain, disegani, kaya secara materi (surung dadi). Meskipun kekayan materi merupakan salah satu kriteria untuk menjadi ulu golo, namun yang paling utama adalah keluruhan budi.
Gaen wongko : pemuka atau tokoh masyarakat di dalam satu woe golo atau masyarakat suku yang mempunyai pengaruh dalam mawa (suku). Ulu golo dipilih dari para gaen wongko.  Setiap kali ulu golo atau orang yang memiliki kekuasaan dalam struktur pemerintahan adat dalam kampung (golo/ wongko) megambil suatu keputusan yang berkaitan dengan kepentingan suku, selalu melalui musawarah bersama dengan para gaen wongko dan woe golo. Gaen wongko memberi nasihat atau saran serta turut menentukan program bersama dalam kelangsungan hidup suku. Gaen wongko merupakan badan penasihat dalam suku. Dalam menyelesaikan berbagai konflik baik yang terjadi antara individu maupun antara kelompok dalam satu suku atau antra suku satu dengan suku yang lain, gaen wongko bertindak sebagai hakim adat untuk memutuskan berbagai perkara atau konflik yang terjadi dalam masyarakat adat.
Gelarang,  wakil atau mandataris Ulu Golo. Jika Ulu Golo  berhalangan baik tetap maupun sementara,   tugas dan tanggujawab diambilalih oleh Gelarang.  Dia dipilih dari orang-orang yang cakap dan bijaksana. Dia bekerjasama dengan Ulu golo, Gaen Wongko dalam menentukan semua kebijakan untuk membangun kehidupan suku.
Pabisara, juru bicara. Bertanggungjawab untuk menyampaikan kepada mayarakat suku atau pihak luar tentang hal yang berkaitan dengan kepentingan suku yang harus diketahui oleh semua masyarakat mawa (suku). Mereka diberi wewenang untuk menangani atau membela kepentingan woe golo bila berhadapan dengan pihak luar. Orang yang dipilih menjadi pabisara adalah orang-orang cakap bicara (sadi bisa’), berani, berwibawa dan dapat dipercaya.
Morin door; sering disebut Door.  Jabatan semacam mentri agraria atau mentri pertanian dalam satu struktur pemerintahan adat dalam satu woe wongko/woe golo. Morin door  sering disebut juga tuang tana’ (tuan tanah). Tuang tana’ di sini bukan berarti penguasa tanah suku. Penguasa tanah suku adalah semua masyarakat ulayat  atau masyarakat suku. Sistim penguasaan tanah suku bersifdat komunal. Kekuasaan yang ada pada Morin Door adalah  untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pengolaan tanah pertanian, yaitu waktu dimulainya pengolaan lahan, waktu penanaman, waktu panen, termasuk perayaan syukur atas panen. Door mempunyai kuasa untuk mengatur adat istiadat yang berkaitan dengan siklus kehidupan suku. Dalam siklus kehidupan suku, tugas utama Door adalah sake wonosekon (menentukan kapan pesta adat diadakan) dan reti tana mengatur pembagian tanah garapan setiap musim tanam). Jabatan door diberikan kepada seseorang yang mengetahui masalah pertanahan suku dan memahami dengan baik tentang adat serta budaya dalam suku. Jabatan Door selalu diambil dari gaen wongko. Seorang yang menjabat sebagai door otomatis adalah gaen wonggko sedangkan gaen wongko tidak identik dengan door atau tidak otomatis sebagai door.  
Berambang : Badan keamanan  suku (berambang : dada). Nama lain adalah Kao-zaran (Kao : anjing- zaran : kuda). Tugasnya membela kepentingan suku  terhadap ancaman pihak luar yang dalam sistim pemerintahan demokrasi moderen sekarang ini menjadi tugas tentara dan polisi. Berambang tidak hanya diambil dari golongan muda tetapi juga dari golongan tua. Mereka tidak diberi latihan khusus secara fisik untuk menghadapi ancaman musuh dari luar. Yang dituntut dari mereka adalah keberanian dan rela  berkorban. Pada saat-saat tertentu jika wilayah kekuasaan suku dirongrong atau diserang dan diancam pihak luar, maka semua warga suku wajib menjadi berambang, karena pada dasarnya keamanan dan keselamatan suku adalah tanggung jawab semua masyarakat suku atau masyarakat ulayat.
Tango Ronan : Nujum suku atau pelihat musim. Nama lainnya adalah  wunga fangor        ( wunga : bunga- Fangor : nama sejenis kayu). Tango ronan bertugas untuk melihat, menganalisis, menginterpretasi situasi dan kondisi kehidupam masyarakat suku baik yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi dengan segala peluang dan tantangannya.  Dia mempunyai kemampuan untuk melihat posisi matahari, bulan dan bintang.  Hasil penglihatannya disampaikan kepeda Ulu Golo dan Door sebagai  dasar untuk membuat keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat mawa atau suku.
Sandi wene-rebo : Nama umum untuk dukun dalam suku, yang bertugas menangani masalah kesehatan masyarakat suku. Segala urusan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat suku ditangani oleh sandi wene rebo. Dia dipercaya karena memiliki kemampuan atau keahlian alamiah untuk bisa mendeteksi sebab-sebab penyakit yang dialami masyarakat suku dan mampu menyembuhkannya. Sandi wene-rebo disebut juga mbeko sando, karena selain trampil dan menguasai ramuan atau obat alamih dan tradisional yang mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, orang mbeko sando memiliki kemampuan   untuk menyembuhkan orang dengan doa dan kekuatan supernatural lainnya.
Punggawa, adalah mandor yang bertugas untuk    mengadakan pembagian kerja sekalikus mengawasi kelancaran pekerjaan dalam suatu kegitan bersama masyarakat mawa atau suku. Dia mengamankan semua kebijakan yang dibuat bersama masyarakat suku agar dapat berjalan dengan baik dan membawa manfaat bagi masyarakat suku. Orang yang menjadi punggawa harus memiliki keberanian, kemampuan organisasi, tegas dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Punggawa tidak dipilih melalui suatu musawarah adat. Dia ditentukan langsung oleh ulu golo sebelum   program kerja yang hendak dijalankan bersama oleh semua masyarakat suku dijalankan.
Ngawas ata, semacam spion atau intelijen atau agen mata-mata dalam suku. Biasanya bertugas sebagai badan keamanan yang menjaga ketahanan suku. Mereka bertugas memperhatikan atau mengawasi secara rahasia, pihak luar atau pihak dalam suku yang merongrong dan membahayakan kesatuan serta kedamaian masyarakat suku. Ngawas ata dipilih dalam musawarah  adat yang dihadiri oleh semua unsur strktur kekuasaan adat dalam suku. Orang yang dipilih untuk menjadi ngawas ata adalah orang-orang yang pandai menjaga rahasia, cerdas dan cerdik dalam membaca berbagai prisriwa yang terjadi baik di dalam maupun di luar suku.
Woe golo; disebut juga  woe wongko, roeng, anak kampong: Artinya rakyat jelata, warga suku pada umumnya. Semua pendatang yang bukan warga suku termasuk dalam kelompok ini. Tugas mereka adalah sebagaimana rakyat kebanyakan. Semua warga suku memiliki kedudukan, hak dan kewajipan yang sama. Tidak ada yang menempatkan diri pada kelas sosial yang lebih tingga atau yang lebih rendah.  Orang Riung menganut filosofi semua manusi adalah sama dan sederajat. *Admin*.

5 komentar:

  1. Terima kasih pater sangat bagus untuk kami ketahui.

    BalasHapus
  2. terima kasih atas tulisannya, sangat membantu dalam pemahaman kebudayaan saya.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Terima kasih kk pater,,sangat membantu dalam mengenal budaya sendiri. Mohon ijin untuk dijadikan sumber refrensi tugas akhir saya..

    BalasHapus
  5. Trimamasih pater sngat bgus untuk di ketahui oleh kami di zaman sekarang

    BalasHapus